Harapan Dibalik Terjalnya Ciremai

            Hai hai, edisi jarang banget lho aku posting cerpen di blog aku yang satu ini, hehe.. Ini semua demi Ulan, hey Ulan kurang baik apalagi coba aku sama kamu? Eh tapi kamu juga baik banget ding sama aku :p *peluk Ulan* Kangen kamu Lan!
Btw temen-temen belum tau kan ulan itu siapa? Jadi Ulan itu seperti teman, sahabat, adik, keluarga atau apalah! Yang jelas kita sering main bareng, sering banget :') Oke deh langsung aja, ini cerpen buat kamu Lan :D Cekidot!!


Seorang pecinta alam mana yang akan melewatkan pendakian di gunung yang bertengger megah di daerah Jawa Barat perbatasan, Ciremai. gunung indah penuh misteri. Lukisan Tuhan yang begitu agung bak raja yang berdiri gagah terlihat dari dataran biru berombak.
Mendaki gunung tertinggi di Jawa Barat merupakan mimpi Nawang. sejak kecil, Panorama yang pertama dia lihat dibalik jendela adalah Ciremai. Dan pagi ini tepatnya ketika jutaan umat muslim di dunia sedang merayakan hari yang dinanti-nanti terutama oleh peternak kambing dan sapi yang siap meraih keuntungan luar biasa. Nawang dan siswa pecinta alam perwakilan dari beberapa sekolah bersiap menaklukkan gunung penuh misteri itu.
“Kamu yakin mau pendakian sekarang,” Tanya mamanya, Bunga.
“Iya aku yakin Ma, ini kan impian aku sejak kecil,” jawab Nawang dengan wajah berseri, namun Bunga membalas dengan senyum simpul sambil mengelus pelan rambut anaknya yang tergerai rapi. Raut wajahnya  terlihat cemas melepas anak pertamanya yang super manja menjelajah setapak demi setapak jalur pendakian yang terjal.
 Nawang merupakan kakak dari sepasang gadis kembar berusia sepuluh tahun. Banyak perbedaan yang mereka miliki. Mulai wajah, kebiasaan maupun bakat. Nawang tumbuh dengan rasa petualangan, dan sepasang adiknya yang terlihat feminim dengan cita-cita model.
Drettt drettt..
Getar handphone menyadarkan Nawang bahwa dirinya harus bergegas merapikan bawaan untuk beberapa hari kedepan, tak mau mati kelaparan gara-gara singa kecil dalam perut yang mengaung minta diberi makan.
“Halo.”
“Kamu dimana?” dari ujung saluran Wedus bertanya.
“Masih dirumah, baru kelar packing.”
“Oke aku jemput ya.”
Klik
***
            Roda mobil bak terbuka mengantarkan mereka menuju start pendakian, semilir angin sedikit menyejukkan panasnya kota Cirebon siang itu. Canda tawa sesekali terlontar dari mulut-mulut jahil para penikmat alam. Alunan takbir tak henti-hentinya mengiringi perjalanan kesepuluh remaja yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas itu, sebagian dari mereka baru mendapatkan ijazah yang memampang kerja keras mereka selama tiga tahun.
Ba’da dhuhur mereka sampai di Palutungan, Palutungan merupakan start pendakian yang dipilih Wedus, cowok berkulit hitam legam dengan rambut keriting. Andrean merupakan nama yang dirusak kawan-kawannya sesama siswa pecinta alam, alhasil Wedus menjadi nama tenarnya
“Semangat,” ucap Desi dengan senyum mengembang dan diikuti yang lainnya
Nawang menghela nafas panjang, impiannya kini di depan mata. jika Nawang kali pertama pendakian Ciremai, Desi dan yang lainnya sudah beberapa kali menaklukkan gunung setinggi …. Mdpl itu. walaupun begitu, mereka tidak merasa hebat atau merasa senior.
Tak ingin membuang banyak waktu, Wedus selaku leader memutuskan untuk langsung memulai pendakian. Palutungan merupakan jalur yang landai, walapun memakan waktu yang sedikit lebih lama dibandingkan  jalur Cibunar, namun kata Wedus jalur Palutungan tidak seterjal Cibunar.
“Udah siap semua kan? Makanan, air, dan peralatan lainnya?” Wedus bertanya seolah mereka akan mengalami paceklik panjang.
Di awal pendakian, semilir angin dingin mulai terasa. Padahal tadi teriknya matahari bisa membakar kulit siapa saja yang berada dibawahnya. Walaupun begitu, semangat mereka tetap berkobar. Jaket tebal yang sudah mereka kenakan sedari tadi cukup menghangatkan. Nawang yang pertama kalinya menginjakkan kaki dirimbunnya jalur pendakian mulai merasa letih. Belum lagi sakit gigi menyerangnya tiba-tiba.
“Sakit gigi ka,” keluhnya pada Wedus.
“Sabar ya dek, masih bisa di tahan kan?” Wedus menenangkan.
“Makanya jangan makan permen melulu,haha,” cerocos Dani bercanda.
“Malah diketawain,” Nawang manyun.
***
Setelah sepuluh jam menyusuri jalanan setapak yang curam dengan salah satu sisinya adalah jurang. Akhirnya mereka sampai. Matahari yang sudah bersembunyi diperaduannya memutuskan Nawang dan yang lainnya untuk bermalam dipuncak. Nawang begitu payah sore ini, tenaganya sudah terkuras habis, belum lagi giginya yang tidak bersahabat. Mungkin benar karena hobinya suka makan permen jadi begini. Batinnya menggerutu.
Andi mengumpulkan beberapa ranting yang berserakan, menyalakan api yang sedikit menghangatkan mereka. Beberapa ditugaskan untuk memasak dan ada yang mendirikan tenda.
Dinginnya malam menusuk tulang-tulang para petualang muda itu, aliran darah seperti membeku. “katanya, dingin ini nggak sedingin di puncak jayawijaya, apalagi everes,” Wedus menuturkan.
“Emang kaka pernah?” Tanya Desi jahil.
Dengan ekspresi polos yang dibuat-buat, Wedus berkata “Kan kaka bilang katanya, haha,” tawa Wedus sontak membuat mereka semua terpingkal-pingkal.
Nawang hanya tersenyum simpul, menahan sakit karena gigi berlubangnya.
“Liatin si Nawang deh, tanpa ekspresi. Kaya anak ilang,” Agus meledek. Lagi-lagi mereka terpingkal.
Malam mulai larut, cahaya bulan menyelinap diantara deduanan pinus yang rimbun. Angin malam semakin kencang menghembus. Pengalaman pertama seorang gadis berawakan tinggi di daerah curam nan sepi, beberapa serangga bernyanyi riuh namun beraturan.
Rasa sakit yang tak kunjung hilang membuat Nawang tak segera tidur, belum lagi dinginnya angin menembus jaket tebal yang sudah menempel sejak keberangkatan.
“Kamu laper?” Tanya Wedus “obatnya diminum gih.”
Nawang tetap saja diam. Mulutnya seperti terkunci.
Obat yang diberikan Wedus justru dibiarkan tergenggam tangannya yang berbalutkan sarung tangan. Aku kan paling nggak bisa minum obat, harus digerus dulu. Batinnya. Rupanya Wedus memiliki telepati yang entah diturunkan darimana, ataukah hidayah tuhan sehingga Wedus tahu apa yang dimaksudkan Nawang. Buru-buru Wedus meraih obat yang sedaritadi digenggam Nawang. Karena tidak ada sendok. Wedus mengambil slayer miliknya dan ditaruhnya obat kemudian di lipatdan didigit lipatan itu hingga obat tergerus lembut.
***
Kalau saja ada ayam yang bertahan di udara sedingin itu, mungkin ayam sudah berkokok dengan lantang membangunkan siapa saja yang mendengarnya. Hanya kokokan ayam digital yang bordering dari salah satu ponsel kesepuluh remaja itu. Jam tiga dini hari mereka melanjutkan perjalanan, berharap ketika sang fajar mulai naik tahta, mereka menyaksikannya. Dingin yang melebihi dingin semalam tetap memaksa mereka melanjutkan perjalanan dari pos terakhir pendakian, goa wallet. Bebatuan yang terjal seolah menghalangi mereka, ditambah butiran bening dari langit membasahi bebatuan jadi licin.
Berjalan setengah merayap dengan beban di pundak, Nawang berkeluh. Giginya masih terasa nyeri. Belum lagi tubuhnya yang kurus harus tetap seimbang.
“Aduh nggak kuat,” gerutunya.
Wedus melepaskan cariel yang dikenakan Nawang dan membiarkan dirinya membawa beban dua cariel sekaligus. Kabut mulai turun, hingga akhirnya mereka sampai puncak. Mentari kembali dari peraduannya, kilau emas memantul dibalik awan putih. Desir angin dingin dikalahkan oleh panorama yang menakjubkan.
“Ayo foto-foto,” teriak Dani yang dari tadi motret angel indah.
“Yuhuu,” sorak sorai pendaki lain, merasa puas dan bangga.
Tidak hanya itu, sebagian mereka bersujud syukur karena masih diberi keselamatan oleh Tuhan.
“Masih sakit nggak?” Wedus menyenggol lengan Nawang, badan kurusnya tertutupi jaket berlapis-lapis.
“Hehe, udah lupa sama sakitnya gara-gara liat ini semua,” Nawang senyum-senyum kegirangan. matanya memperhatikan setiap garis wajah Wedus, mereka saling berpandangan.
 ***



Mimsin Yuda Kartika lahir di Cirebon, 21 Juni 1994. sedang kuliah di jurusan Agroteknologi Universitas Jenderal Soedirman. Sempat menjadi wartawan sekolah di Radar Cirebon. Saat ini sedang belajar mendalami dunia fiksi, dapat menghubunginya di mimsinyudakartika@yahoo.co.id.

Related Posts: